Wajah dua tamuku mendadak berubah ketika Sulam
masuk. Kedua tamuku itu tentu tidak mengenal Sulam, namun siapa saja yang
tinggal di antara Wangon dan Jatilawang pasti mengenal dia.
“Pak,” kata Sulam tanpa ekspresi
apa pun.
“Ya,” jawabku. “Nasi atau uang?”
Sulam diam. Diperlihatkannya ujung celananya yang
kuyup dan kedodoran yang diikat dengan tali plastik. Di kaos Sulam juga
terdapat gambar-gambar yang dibuat oleh anak-anak nakal yang mempermainkannya.
“Nasi atau uang?” ulangku.
“Aku sudah punya uang,” jawab
Sulam sambil membuka tangannya yang terdapat kepingan logam. Tapi tangan itu
pucat dan gemetar. Aku langsung bangkit dan memberikan sepiring nasi dan
segelas teh kepada Sulam. Kedua tamuku masih terdiam melihat kejadian itu.
Selesai makan, Sulam mengangkat
sendiri piring dan gelasnya, lalu membawanya kedalam. Anak-anakku tidak takut
kepadanya, mereka sudah kenal siapa dia. Sulam pun pergi tanpa sepatah katapun.
Kedua tamuku menghembuskan napas panjang-panjang. Lalu salah seorang dari
mereka berkata “Maaf, Mas. Aku mau
bertanya siapa orang yang baru kesini tadi.
Lalu aku mendongeng. Suatu hari,
habis magrib, Sulam datang. Kebetulan aku sedang mengadakan kenduri. Gerimis
yang sejak lama turun, membuat Sulam basah kuyup. Aku merasa tak bias berbuat
apapun selain menyilahkan Suloam masuk. Aku lalu menganti pakaiannya dan kuajak
dia menikmati kenduri. Kubawa dia duduk di sampingku. Orang-orang yang semula
duduk didekatku kemudian menjauh. Kenduri itu pun berakhir tanpa keakraban.
Kurasa mereka tersinggung karena Sulam kuajak duduk bersamaku. Semuannya
menjadi jelas ketika beberapa minggu kemudian aku mengadakan kenduri lagi.
Ternyata hanya beberapa orang yang datang.
Kedua tamuku hanya mengangguk-angguk.
Lalu ku teruskan dongengku. Suatu ketika emakku marah-marah karena melihat
Sulam menginap di rumahku.
“Yah, bagaimana lagi, Mak. Diluar
hujan dan Sulam mampir berteduh. Karena sampai malam hujan tak reda, maka Sulam
ku suruh menginap di sini.Bila hujan tak turun, Sulam pun tak mau menginap di
sini.” Mendengar dongeng itu kedua tamuku pun tersenyum lepas.
Wangon dan Jatilawang adalah dua
kota kecamatan. Jarak keduanya tujuh kilometer atau lebih. Setiap hari Sulam
hanya berjalan kaki menempuh kedua pasar itu.
Memasuki bulan puasa, Sulam tetap
singgah ke rumahku setiap pagi. Tetapi sikapnya berubah. Dia kelihatan malu
ketika menyantap nasi yang kuberikan. Setiap kali Sulam berkata:
“Pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?”
“Ya, kamu boleh tidak puasa. Anakku
yang masih kecil juga tidak berpuasa.”
“Tapi aku bukan anak kecil, Pak.
Aku wong gemblung,” kata sulam serius.
“Ah, siapa yang mengatakan kamu
demikian?”
Sulam tidak menjawab. Kemampuan
nalarnya kukira, sangat terbatas. Dan itulah yang menyebabkan semua orang yang
tinggal di antara Wangon dan Jatilawang mengatakan Sulam wong gemblung.
Dekat lebaran, pagi-pagi sekali,
Sulam sudah berada di rumahku. Ia duduk di ruang makan dengan wajah yang
bimbang. Nasi dan sekeping uang tak menarik perhatiannya. Sulam malah bertanya:
“Sudah hamper Lebaran, ya Pak?”
“Ya, empat atau lima hari lagi.
Kenapa?”
Sulam menunduk terbengong-bengong, lalu ia berkata:
“Mestinya
Lebaran di tunda sampai emak pulang. Dia sedang pergi kekota membeli baju” “Oh, aku tahu sekarang. Kamu tak usah
menunggu emakmu. Nanti aku yang memberimu baju.”
Sulam
mengangkat muka lalu tersenyum aneh. Nasi di depannya pun dimakannya dengan
lahap.
Sudah beberapa jam Sulam masih duduk di ruang makan.
“Sudah
hampir lebaran, ya Pak?”
“Oh
iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak menyerahkan baju
itu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.”
“Di pasar Wangon dan Jatilawang
orang-orang sudah membeli baju baru.”
“Ya,
tapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang
nanti kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum lebaran tiba.”
“Aku
kan wong gemblung, ya Pak.”
“Nanti
dulu, aku tidak berkata demikian.”
Aku ingin berkata lebih banyak. Namun Sulam sudah
pergi dengan wajah yang murung.
Dan
aku mulai menyesali perkataanku tadi. Mengapa aku khawatir tentang kebiasaan
Sulam yang suka mengkotori bajunya. Aku bahkan tidak cukup mengerti tentang
perasaannya, dan aku sungguh tidak layak mengaku sebagai sahabat Sulam.
Jam
tujuh pagi hari itu penyesalanku makin mendalam. Seorang tukang becak sengaja
datang ke rumahku.
“Pak
Sulam mati tergilas truk dibatas kota Jatilawang.” Aku merasa malu dan perih.
Demikian malunya aku tak berani menjenguk mayatnya. Aku merasa sangat bersalah,
bahkan aku tidak bisa mengabulkan permintaan terakhirnya. Padahal aku mampu
memberikannya.
Menjelang
pagi di hari Lebaran, Sulam datang dalam angan-anganku. Dia hanya menatapku
dengan wajah yang jernih dan dengan senyuman. Kemudian Sulam pergi sambil meninggalkan
suara tawa ceria.
apa apahan kie pak .. hahaha ,ana ana bae
BalasHapusTahnks ceritane , senajan cindek tapi lugas lan realistis ora digawe gawe.......nuwun
BalasHapusKemutan wangon ketemu " SULAM" suwun kang wis bagi2 ceritane....
BalasHapusKemutan wangon ketemu " SULAM" suwun kang wis bagi2 ceritane....
BalasHapus